Trilogi Kardinal Julius Darmaatmadja SJ

Trilogi Seri 80 Tahun Rama Kardinal Julius Darmaatmadja SJ telah 3 bulan terbit, yaitu: Kardinal Darmaatmadja SJ – Terlahir untuk Mengabdi, Kardinal Darmaatmadja SJ – Di Mata Para Sahabat, dan Kardinal Darmaatmadja SJ – Alam Pikiran dan Kharisma (tebal 240 hlm).

Mengapa berbentuk trilogi? Sejak awal perencanaan biografi ini, Rama Kardinal Julius Darmaatmadja mewanti-wanti agar buku tidak sekedar memuat “tentang dirinya”, tetapi lebih pada ajaran dan pandangan hidup yang bisa diwariskan. Tampak sekali bahwa ia tidak ingin dikultuskan, sehingga penyusunan buku kemudian dikembangkan ke penggalian dokumen-dokumen yang pernah dikeluarkan oleh Rama Kardinal, mengelompokkan pandangan-pandangannya, dan menemukan benang merah yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.

Mengapa Harus Trilogi?

BUKU PERTAMA diberi sub judul “Terlahir untuk Mengabdi”, tebalnya 456 halaman, ditulis oleh Murbandono HS dan Agustinus Surianto Himawan. Pada bagian awal bentuknya bergaya novel bertutur, lengkap dengan setting latar belakang, sejauh informasinya masih bisa digali saat ini. Saat dibaca tampak amat mengalir dan mudah dipahami. Memuat figur seorang Julius Darmaatmadja, mulai dari kelahirannya, masa kecil, masa menjalahi pembentukan diri, sampai masa memasuki purnakarya, yang disusun secara kronologis.

Pada bagian-bagian tentang pandangan dan ajaran terasa formal dan sedikit kaku, meskipun diusahakan mengemasnya dengan apik, menarik, lugas, agar enak dibaca. Namanya mengolah dokumen, apa boleh buat kalau terasa menjemukan kalimat-kalimatnya.

Tokoh Katolik, mantan menteri dan orang kepercayaan Presiden Soeharto, J.B. Sumarlin, hadir dalam acara sarasehan kebangsaan di Bentara Budaya Jakarta dalam rangka 80 Tahun Kardinal Julius Darmaatmadja SJ

BUKU KEDUA bersubjudul “Di Mata Para Sahabat”, tebalnya 200 halaman, sebuah antologi yang memuat figur seorang Julius Darmaatmadja dari sudut pandang para sahabat yang mengenalnya, dieditori oleh Agustinus Surianto H. Isinya memuat 19 artikel, diawali prolog yang ditulis dengan indah oleh F. Rahardi, serta ditutup epilog yang menjadi buah tangan Rama Kardinal menanggapi persoalan bangsa saat ini.

Para sahabat yang berperan serta menyumbangkan tulisannya adalah Buya Syafii Maarif, K.H. Hasyim Muzadi, Pendeta Andreas A. Yewangoe, Bhikkhu Pannyavaro Mahathera, Dr. JB Sumarlin, Mgr. Martinus Situmorang OFM.Cap, Mgr. Ignatius Suharyo, Winoto Doeriat, Jacob Oetama & St. Sularto, Dr. Bernadette Setiadi, Indarwahyanti Graito, Pieneke Mariana Sutandi, Rama B.S. Mardiatmadja SJ, Rama Adrianus Padmaseputra SJ, Rama Sunu Hardiyanta SJ, Rama Yohanes Subagyo, Rama Y. Purbo Tamtomo, dan Ignatius Haryanto.

Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Harian KOMPAS memandu para narasumber menyampaikan gagasannya terkait tema kebangsaan dan keterlibatan Rama Kardinal Darmaatmadja SJ. Dari kiri; Rikard Bagun, Buya Syafii Maarif, Bhikkhu Pannyavaro Mahathera, dan Pendeta Andreas A. Yewangoe
Jubilaris berfoto bersama tokoh-tokoh masyarakat yang ramai menggemakan pesan-pesan kebangsaan dalam berbagai momentum di Tanah Air

BUKU KETIGA, ”Alam Pikiran dan Kharisma”, tebal 240 halaman, memuat figur seorang Julius Darmaatmadja dengan menggali nilai-nilai pemikirannya dari tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang semangat Ignasian yang diwarnai semangat kerendahan hati berkarya bagi kebaikan semua orang demi kemuliaan Allah yang dilayaninya. Kedua, dari sudut pandang reksa pastoral seorang gembala umat yang melanjutkan karya perutusan para Rasul dan Gereja Perdana. Dalam hal ini, sebagai bagian dari Gereja, yang terpilih untuk bisa “berperan lebih”, Rama Kardinal mengejawantahkan pancatugas Gereja dalam karya penggembalaannya. Ketiga, sebagai Primat Gereja Katolik, ia harus berusaha melakukan pembaruan di berbagai bidang penggembalaan umat dan kemasyarakatan.

Sosialisasi Agar Bermanfaat

Harian  KOMPAS telah dua kali mengekspos Trilogi Rama Kardinal ini, masing-masing setengah halaman. Sebuah penghargaan yang luar biasa dari Kompas. Di Majalah HIDUP, Penerbit OBOR sudah beberapa kali mempromosikannya. Informasi detil juga sudah dikirimkan ke berbagai kalangan, ke biara-biara, paroki dan keuskupan.

Buku ini sejak awal memang digagas untuk ambil bagian mewariskan sikap hidup, pandangan, dan ajaran Rama Kardinal kepada banyak kalangan, baik dalam internal Gereja Katolik, maupun masyarakat umum. Sayang rasanya, kalau orang seistimewa beliau, pandangan dan ajaran-ajarannya tenggelam bersamaan dengan (maaf) wafatnya nanti. Kardinal itu “manusia langka”, “orang istimewa”. Bayangkan, dari 1,3 milyar orang Katolik, hanya ada 209 Kardinal (113 kardinal elektorat & 96 kardinal non elektorat, data catholic-hierarchy per 26 Nov 2014 saat buku dirampungkan penulisannya).

Rama Kardinal berbicara di hadapan para tokoh masyarakat dalam kesempatan perayaan 80 tahun usianya
Sebagian dari para tokoh ini tentu sudah kita kenal peranannya dalam masyarakat

Buku seri “80 Tahun Kardinal” ini masih cukup beruntung karena disusun saat beliau masih hidup, masih bisa ditanyai, masih bisa diminta koreksiannya, dan lain-lain, meskipun setelah rampung disadari masih banyak kekurangan di sana-sini. Terbit bertepatan dengan 80 tahun usia, 45 tahun imamat, dan 20 tahun sebagai kardinal.

L. Murbandono HS (duduk) penulis biografi bersama Mgr. Aloysius Sudarso SCJ (kanan) dan Saksofonis terkenal Didiek SSS sekeluarga

Almarhum Kardinal Justinus Darmojuwono

Sejujurnya, tentu banyak pihak juga kepingin mengabadikan hal yang sama dari Kardinal Justinus Darmojuwono, tapi bahan-bahannya sulit didapat karena orangnya telah tiada. Dulu tahun 1987, Penerbit OBOR pernah menerbitkan bunga rampai tentang Kardinal Darmojuwono, editornya (Mgr) J. Hadiwikarta saat menjabat Pro Sekretaris KWI (kini dinamai Sekretaris Eksekutif KWI) dan pada waktu itu juga merangkap Direktur OBOR. Penerbitan bunga rampai tersebut bertepatan dengan pesta 40 tahun imamat dan 20 tahun pengangkatannya sebagai kardinal.

Belum lama ini Kanisius menerbitkan 2 buku tentang Almarhum Kardinal Darmojuwono, tetapi hanya berbentuk (mirip) bunga rampai semua. Komsos KAS membuat film dokumentasi meskipun masih kurang memadai unt menggambarkan sosok kardinal pertama Indonesia itu. Biarlah ini menjadi masa lalu yang terlewatkan oleh kita semua. Namun ke depan, kreativitas para “insan komsos” tentunya harus lebih cepat, gesit dan cekatan dalam mengabadikan perjalanan hidup tokoh-tokoh yang berperan membangun tonggak penting dalam peradaban manusia.

Tujuannya apa? Supaya nilai-nilai kehidupan, pemikiran, dan karya nyata sang tokoh tidak sirna dengan kematiannya, namun berkesinambungan karena dijaga oleh generasi berikutnya. Menjadi seorang Kardinal bukan direncanakan oleh seseorang, namun diyakini atas kehendak Allah yang menginspirasi pimpinan Gereja untuk memilihnya.

Setelah Kardinal Yustinus Darmojuwono, kemudian Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, akankah Umat Katolik Indonesia memiliki Kardinal ketiga?

Jakarta, 1 April 2015
Agustinus Surianto Himawan

www.membumikanide.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *